Seorang remaja
perempuan sedang berlari-lari dengan ransel hitam di punggungnya. Dia memasuki
halaman sebuah rumah besar.
Disana dilihatnya seorang anak laki-laki yang sebaya dengan dirinya berdiri di
samping mobil hitam mengkilat dengan ransel hitam di punggungnya
dan seorang wanita di dalam mobil itu. Laki-laki itu menoleh saat mendengar kedatangannya.
“Hei Riri, kau ini ngapain aja sih lama banget? Ya sudah sekarang cepet
masuk mobil! Udah mau telat nih..”, kata Arthur sambil membuka pintu mobil.
“Iya-iya, gak sabaran banget sih..”, jawab Riri kesal.
Mereka pun menaiki mobil yang kemudian melaju ke
jalanan. Hari itu mereka
berencana menyaksikan matahari terbit di puncak gunung, mumpung sedang libur
karena anak kelas 12 harus Ujian Nasional. Tapi ada yang sedikit aneh menurut
Arthur, karena tidak biasanya kakaknya, Hana yang sedang
menyetir mobil, itu mengajak dia
jalan-jalan ke gunung seperti ini. Biasanya saat liburan dia hanya tinggal di
rumah dan menjadi korban keisengan kakaknya itu. Atau dia disuruh menemani
kakaknya berbelanja dan dijadikan budaknya. Aneh sekali kalau kemarin tiba-tiba
kakaknya itu mengajaknya naik gunung. Katanya sih dia ingin melihat matahari
terbit, sudah lama tidak mengirup udara segar. Benar-benar mencurigakan, batin
Arthur.
Untuk menuju ke puncak dapat ditempuh dengan mobil karena jalan di sekitar
pegunungan tersebut sudah beraspal. Mereka harus melewati hutan pinus untuk sampai disana. Di tengah perjalanan, di
antara pohon-pohon pinus Nampak sebuah bangunan mirip candi menjulang tinggi
“Hei lihat! Bangunan apa itu? Kenapa ada di daerah hutan kayak gini?”, seru
Arthur keheranan.
“Iya..ya.. Apa itu? Mirip candi ya.. Tapi kok belum pernah dengar ya..?”,
sahut Riri yang juga keheranan.
“Oooh, itu.. Itu Candi Alasmaja peninggalan kerajaan Majapala.”, jawab Kak
Hana.
“Kerajaan Majapala? Emang ada? Baru denger.”, sahut Arthur.
“Wah..wah..wah.. Begini ya,, biar kakak jelaskan. Kerajaan Majapala itu
sebuah kerajaan kecil. Itu dulunya sebuah kerajaan yang makmur karena rakyatnya
hanya sedikit, sehingga jarang ada perkelahian atau semacamnya. Namun, suatu
hari kerajaan itu diserang oleh kerajaan lain yang lebih besar. Karena mereka
tidak mempunyai pasukan perang, mereka pun kalah seketika.”, jelas Kak Hana.
“Waah,, bener tuh Kak? Kok Kakak tahu?”, Tanya Riri.
“Oooh, itu kemarin Kakak baru membacanya di majalah. Kebetulan ada artikel
tentang itu.”, jawab Kak Hana.
“Pantesan Kakak tiba-tiba ngajak kami jalan-jalan. Ternyata Kakak ingin
pamer pengetahuan Kakak toh.”, sahut Arthur.
“Hohoho,, ini namanya berbagi ilmu. Tapi tujuan utama kakak bukan ini..”
“Waah, mencurigakan. Lalu apa tujuan kakak sebenarnya hah?”
“Itu rahasia. Lha, sekarang kita sudah sampai nih. Ayo turun!”
Di hari libur, banyak orang kesana hanya untuk sekedar duduk-duduk
menikmati pemandangan sekitar. Namun, karena hari ini bukan hari libur, maka
suasananya sepi. Mereka bertiga turun dari mobil dan udara segar segera
menyambut mereka pagi itu. Disana telah disediakan tempat duduk yang menghadap timur, tempat munculnya matahari.
Karena hari itu sepi, mereka bisa memilih tempat duduk semau mereka. Mereka
lantas duduk di kursi paling tengah yang menghadap matahari langsung. Tak lupa
sebuah kamera tergenggam di tangan Arthur. Tentu saja mereka tak mau melewatkan
momen indah ini tanpa ada buktinya.
Perlahan matahari mulai menampakkan sinarnya. Sinarnya menyilaukan mata,
namun sayang bila dilewatkan begitu saja. Mereka bertiga lalu
berfoto-foto bersama dengan latar belakang berwarna oranye. Saat matahari
benar-benar sudah muncul, mereka berjalan-jalan di sekitar puncak tersebut
melihat pemandangan desa-desa dari atas. Walaupun bukan hari libur, ternyata
mereka masih menemukan pedagang yang menjajakan makanannya disana. Karena dari
berangkat belum makan apa-apa, mereka berhenti di sebuah warung soto ayam dan
memesan makanan.
“Nyem..nyem..nyem..
Kenyangnyee..”, celoteh Riri sehabis makan.
“Habis ini kita mau
kemana Kak?”, lanjutnya.
“Habis ini kita
jalan-jalan lagi. Oia, kakak mau ke toilet dulu ya.”, kata Hana.
“Jangan lama-lama,
Kak!”, sahut Arthur.
“Tenang saja, begitu
keluar dari toilet, aku akan langsung kembali kesini kok.”
Setelah hampir setengah
jam mereka menunggu, namun Hana tak kunjung muncul juga.
“Ar, gimana nih? Kok
Kak Hana gak kembali? Malah ini belom dibayar lagi.”, kata Riri cemas.
“Ternyata firasat
burukku daritadi itu ini toh. Dasar si Kakak. Yaudah, ayo pergi kita cari tu
orang. Tapi karna ranselku kutinggal di mobil, kamu yang bayarin dulu yah.”,
kata Arthur.
“Tapi aku cuma bawa
uang Rp. 25.000,-.. emang cukup?”, tanya Riri gelisah.
“Sini uangmu!”
Arthur langsung
mengambil uang yang ada di tangan Riri. Segera ia memberikan uang itu kepada
penjual soto. Dan mereka pergi dari warung itu menuju arah Hana tadi pergi.
Mereka mulai melihat-lihat sekitar, mungkin saja ada Hana disana. Hingga
akhirnya mereka menemukan sebuah toilet umum dan bertanya kepada penjaga toilet
itu.
“Permisi Pak, saya mau
tanya. Apa tadi ada seorang wanita memakai jaket hijau kesini? Tubuhnya agak
tinggi, memakai celana jeans abu-abu, dan membawa tas warna hitam.”, tanya
Arthur sambil menjelaskan cirri-ciri kakaknya.
“Oh, iya ada dek. Tapi
dia gak masuk toilet, dia hanya menitipkan amplop ini kepada saya. Katanya
setengah jam lagi akan ada anak laki-laki dan perempuan yang mencarinya.
Ciri-cirinya ya kayak adek-adek ini. Kalau begitu ini saya kasih amplopnya.”,
terang penjaga toilet tersebut sambil memberikan amplop berwarna hijau itu
kepada Arthur.
“Trus bapak tau kemana
wanita itu pergi?”, Tanya Arthur lagi.
“Ooh, tadi saya cuma
lihat dia pergi kearah parkiran sana itu. Selanjutnya saya gak tau.”, terang
bapak itu.
“Yaudah kalau begitu
Pak, makasih ya. Permisi..”, kata Riri lembut dan segera menyusul Arthur yang
langsung melenggang meninggalkan tempat itu menuju arah yang ditunjukkan oleh
penjaga toilet tersebut.
Mereka telah sampai di
parkiran tempat mobil mereka tadi. Namun sesuai dugaan, mobil mereka tak ada
disana. Riri yang mengetahui hal tersebut mulai cemas dan panik. Namun Arthur
malah tersenyum seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru.
“Arthur, gimana nih?
Kita ditinggal disini. Malah kita gak tau daerah sini, kan baru pertama kali
kesini. Trus kita pulangnya gimana? Masa’ kita harus disini terus…”, Riri mulai
mengecoh tak karuan, membayangkan hal-hal buruk yang akan menimpa mereka bila
mereka tetap terjebak disana.
“Udahlah Riri, jangan
panik begitu. Kalau panik kayak gitu malah gak bisa berpikir jernih. Aku udah
tau kalo ini bakal terjadi. Ini semua sudah dia rencanakan. Buktinya dia
ninggalin surat ini.”, kata Arthur berusaha menenangkan Riri. Dia kemudian
membuka amplop hijau yang ada di tangannya dan mulai membaca isinya.
“Jika
kau ingin kembali, pergilah menuju tempat yang begitu damai, namun sunyi.
Tempat kekalahan, namun sebenarnya menang. Disana kau akan menemukan darah
keras diantara kematian yang rapuh.”
“Apa maksudnya ini?
Damai tapi mati? Darah keras diantara kematian? Masa’ kita harus mati dulu?
Atau harus bunuh orang? Apa maksudnya ini?”, Riri mulai kebingungan. Dia
benar-benar terlihat panik. Wajahnya memucat, tubuhnya bergetar seperti orang
yang baru melihat setan.
Namun, Arthur hanya
diam. Di dahinya terlihat ada kerutan yang menandakan bahwa dia sedang
berpikir. Kemudian dia mulai berjalan meninggalkan tempat itu sambil tetap
berpikir. Riri yang tidak tau apa-apa hanya bisa berbicara
kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada mereka. Selang beberapa
waktu, Arthur berhenti.
“ Yah! Aku tahu
tempatnya. Ayo Riri kita kesana!”, seru Arthur yang langsung berlari sambil
menggenggam tangan Riri. Dia menuju jalan raya yang dia lewati saat menuju
kesana tadi.
Kebetulan saat itu ada
kendaraan pengangkut sayur melewati jalan itu. Arthur segera memberhentikannya
dan meminta izin ke supirnya agar dia dan Riri bisa menumpang kendaraan itu.
Mereka yang diijinkan langsung menaiki jok belakang bersama sayur-sayur segar
itu. Mobil itu mulai melaju kembali.
“Arthur, kita mau
kemana?”, Tanya Riri.
“Ke candi Alasmaja yang
tadi itu loh.”, jawab Arthur.
“Ngapain kesana?
Memangnya sesuai dengan petunjuk itu? Beda banget kan. Gak nyambung.”, kata
Riri.
“Haduh Riri, lha kamu
daritadi mengomel terus sih. Masalah itu harus dipikirin dengan tenang. Sini
biar aku jelaskan.”, Arthur mulai menjelaskan.
“Nih ya lihat, ‘Jika kau ingin kembali, pergilah menuju
tempat yang begitu damai, namun sunyi. Tempat kekalahan, namun sebenarnya
menang.’ Ingatkan cerita kerajaan Majapala tadi? Kerajaannya makmur dan
damai tapi sunyi karena peghuninya hanya sedikit dan gak banyak orang yang
tahu. Kerajaan tersebut kan kalah perang, tapi sebenarnya menang karena disana
tak ada kerusuhan dan kejahatan.”
“Ooh, begitu. Pintar
juga kau Arthur. Terus yang di bawahnya itu maksudnya apa?”, tanya Riri agak
tenang.
Tiba-tiba mobil yang
mereka tumpangi berhenti. Ternyata mereka telah sampai di candi tersebut karena
sebelumnya Arthur telah berpesan ke supirnya agar dia diturunkan di candi itu.
Mereka lantas turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih kepada supir itu
dan mulai berjalan memasuki gerbang candi. Tempatnya benar-benar sangat tua dan
tidak terawat. Saat itu hari sudah mulai sore.
“Arthur sekarang kita
kemana?”, tanya Riri
“Kita cari batu
berwarna merah karena disini tertulis ‘darah
keras’. Darah kan merah, sedangkan batu kan keras. Trus maksud dari
kematian yang rapuh mungkin daun-daun yang berserakan ini.”, jawab Arthur.
“Oh aku tahu. Daun-daub
ini kan sudah mati dan bila dipegang bisa hancur. Itu maksudnya kan?”
“Yap, benar sekali. Kau
mulai pintar ya Riri.”
“Hohoho, Riri gitu. Lha
ini dia batu warna merah!”, seru Riri yang menemukannya diantara dedaunan itu.
Arthur mengangkat batu itu dan Riri mengambil kertas berwarna hijau di
bawahnya. Saat dibuka, di dalamnya tertulis:
“Pergilah
ke atas ular-ular hijau yang menutupi masa lalu. Disana kau dapat melihat
warna-warna alam yang menakjubkan.”
“Hah, apa lagi ini?
Ular?”, sahut Riri.
“Ayo kita naik ke atas
candi itu!”, ajak Arthur.
“Hah? Ngapain?”
“Sudahlah ayo!”, Arthur
menggandeng tangan Riri dan kembali berlari menaiki candi tersebut. Sesampainya
di atas, mereka melihat matahari terbenam begitu indahnya dengan pemandangan
pohon yang indah. Tak berapa lama muncul kakak Arthur, Hana, di belakang
mereka.
“Kak Hana? Kok disini?
Berarti kita berhasil dong! Hore!”, seru Riri.
“Arthur, waktumu lebih
cepat 12 detik dari pekiraanku.”, kata Hana.
“Lalu apa maksud surat
yang kedua itu”, tanya Riri.
“Ooh, itu maksudnya
begini, ular hijau itu ya tanaman rambat yang menutupi candi ini. Candi kan
sejarah, sejarah itu masa lalu. Terus warna-warna menakjubkan itu maksudnya,
disini kita bisa melihat matahari tenggelam dengan jelas dan di bawah kita bisa
melihat pohon-pohon pinus yang berwarna hijau. Benar kan Kak Hana?”, terang
Arthur.
“Yap, benar sekali. Lha
karena sekarang mataharinya udah tenggelam, kita pulang. Kutraktir makan malam
enak. Ayo!”
#cerita ini dibuat dalam rangka tugas B.Indonesia pas kelas X dulu,,, terinspirasi dari serial detective conan#

Tidak ada komentar:
Posting Komentar